Brexit Akan Pengaruhi Pola Hubungan Inggris-UE

IMG_7884
Rakyat Inggris sedang merayakan Hasil Referendum atas keluarnya Inggris dari Uni Eropa akhir-akhir ini. Peristiwa tersebut dikenal dengan istilah Brexit (British Exit). Hasil referendum menunjukkan 51% orang setuju Inggris keluar dari UE dan 49% tetap tinggal bersama UE. Meski menang tipis, Brexit akan dapat memberi banyak dampak bagi Inggris maupun Uni Eropa itu sendiri.
Menanggapi masalah tersebut, Program studi Magister Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogykarta (UMY) mengadakan Focus Discussed Group bertema “Brexit” yang diselenggarakan pada hari Senin (27/6) di Ruang Student Hall MIHI Gedung Pasca sarjana UMY lt. 2.
Ali Muhammad, S.IP, MA, PhD, Dekan FISIPOL UMY yang juga menjadi salah satu pembicara dalam diskusi tersebut menyatakan, peristiwa Bresxit tersebut dapat mempengaruhi pola hubungan antara Inggris dan Uni Eropa, khususnya dalam hal ekonomi. Dan masalah yang akan terjadi tersebut tidak bisa dilihat hanya dalam waktu singkat, namun harus dilihat pada tahun-tahun mendatang. ”Saat ini yang akan terjadi adalah ketidakpastian. Bentuk hubungan apa yang terjalin antara Inggris dan Uni Eropa pasca Brexit? Tentu kita perlu melihat 2 hingga 4 tahun kedepan untuk masalah ini,” paparnya.
Dia menjelaskan bahwa Inggris merupakan aktor penting namun skeptis dalam Uni Eropa. “Inggris merupakan salah satu kekuatan di Uni Eropa bersama Jerman, Prancis, dan Italia. Dia (Inggris) termasuk dalam 10 besar negara anggota yang berkontribusi paling besar terhadap Uni Eropa. Namun, Inggris bukan penggerak utama Uni Eropa. Inggris lebih bersikap skeptis pada Uni Eropa, buktinya dengan Inggris baru bergabung dengan Uni Eropa tahun 1973 dan hal itu merupakan waktu yang “telat” bagi Inggris untuk bergabung Uni Eropa,” lanjut dia.
Menurutnya, ada beberapa sebab Inggris keluar dari Uni Eropa. “Sikap Skeptis Inggris jadi penyebab ingin keluar dari Uni Eropa. Inggris menilai Uni Eropa mengekangnya dengan berbagai aturan yang tidak menguntungkan Inggris sendiri. Selain itu, Inggris ingin mengontrol penuh perbatasan dan mengatur orang yang masuk dan tinggal atau bekerja di Inggris. Hal itu menjadi kontradiksi sendiri bagi konsep Uni Eropa,”jelas dia.
Namun begitu menurutnya, fenomena Inggris yang keluar dari Uni Eropa (Brexit) tidak akan diikuti negara-negara anggota Uni Eropa lainnya. “Saya rasa tidak mungkin negara lain mengikuti Inggris. Terlalu kecil power negara-negara lain untuk melakukan langkah seperti Inggris. Justru yang dikuatirkan adalah dominasi Jerman di Uni Eropa pasca keluarnya Inggris,” tambahnya.
Sementara itu, Prof Tulus Warsito yang juga hadir sebagai pembicara menyatakan bahwa fenomena Brexit sudah menjadi ide dari dahulu, namun baru terjadi sekarang. “Brexit bukan suatu hal yang tiba-tiba, hal ini merupakan sebuah ide dari dahulu kala. Pada tahun 1973 Inggris bergabung ke Uni Eropa, dan 2 tahun berikutnya juga telah melakukan referendum. Pada saat itu Inggris memakai mata uang sendiri, pundsterling bukan Euro milik Uni Eropa. Jadi adanya Euforia Brexit ini karena baru saja terjadi, namun idenya sudah lama,” paparnya.
Beliau menambahkan bahwa dampak Brexit bagi Indonesia tidak terlalu signifikan, tidak seperti dampaknya terhadap hubungan antara Inggris dan Uni Eropa. “Indonesia tidak terlalu berpengaruh dengan Brexit. Bagi Indonesia, kalau yang keluar hanya Inggris, maka Indonesia hanya akan menghadapi proteksionisme Inggris, sementara multilateralisme Uni Eropa tetap ada,” tutup beliau. (bagas)

Facebook
Twitter
WhatsApp

Beasiswa BPI 2023 & LPDP-Kemenag RI masih dibuka!!!