Fenomena Dimas Kanjeng: Kritik Terhadap " Mainstrim"

dr
Fenomena Dimas Kanjeng Taat Pribadi di Probolinggo Jawa Timur, bukanlah hal yang baru apalagi di Indonesia. Fenomena seperti ini terjadi cenderung berulang dengan format yang berbeda namun memiliki tujuan yang relatif sama, mengguat kemapanan tradisi mainstrim yang selama ini menjadi rujukan umat. Hal tersebut harus dilihat dari berbagai aspek, dan berimbang yang tidak hanya terhenti pada justifikasi bahwa telah terjadi penyimpangan. Akan tetapi, jauh dari itu semua perlu dilihat juga dari sisi manfaatnya; ia telah mengembalikan sensitivitas keagamaan publik untuk kritis dan kembali ke ‘jalan yang Lurus’. Demikian yang dikatakan oleh Dr. Hasse J, M.A., Dosen Program Doktor Politik Islam UMY dalam Focus Group Discussion (FGD) tentang Klenikologi dan Transdimensi yang diadakan Program Doktor Psikologi Pendidikan Islam UMY, di Ruang Sidang Direktur Pascasarjana, pada Selasa (11/10).

Dalam pemaparannya, Hasse J menjelaskan fenomena seperti Padepokan Dimas Kanjeng dapat diposisikan sebagai kontrol sekaligus bahan evaluasi bersama oleh semua pihak. Sederetan peristiwa semacam ini tentu saja memberikan ruang Tafsir dan perdebatan bagi siapa saja. banyak pihak menganggap bahwa hal tersebut terjadi akibat kegagalan para ‘ilmuwan’ dan ‘agamawan’ dalam mengarahkan dan menggerakkan umat ke jalan yang benar. Dua elemen masyarakat ini sering menjadi pusat perhatian ketika muncul fenomena tidak lazim seperti yang marak belakangan ini. “Ilmuwan disebut telah gagal menjadikan umat cerdas dan kritis dalam merespons kondisi sehingga mudah terpengaruh oleh hal-hal yang secara rasio sulit dipertanggungjawabkan. Agamawan juga mengalami nasib serupa, ia selalu diseret ke dalam pusaran perdebatan dan dianggap ‘penyebab dosa’ karena diklaim gagal menanamkan nilai-nilai agama sehingga seseorang /umat dengan mudah terperdaya oleh ‘rayuan maut’ aktor profesional tadi berhasil memformat uolang agama sebagai bahan jualan yang laris manis”, Jelas Hasse.

Keberhasilan aktor profesioanl membujuk banyak orang tidak lepas dari rapinya upaya yang dilakukan termasuk upaya ‘mistifikasi figur’ yang didesain dengan baik. Ini dikemudian dihadapkan pada sebuah realitas krisis multi-dimensi umat termasuk didalamnya labil dan rapuhnya keimanan sesorang. ada dua kutub yang saling bererlawanan di sini. Umat pun kemudian menentukan pilihannya bukan lagi berdasarkan logika rasio yang didukung oleh dalil atau nash yang kuat, tetapi lebih pada bagaimana memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan dengan modal minim namun hasilnya maksimal. Oleh karena itu, perlu solusi pasti untuk mengatasi permasalahan tersebut. “Harus dilakukan counter isu secara terstruktur, salah satunya melalui penguatan fungsi institusi yang memiliki basis legitimasi baik akademik maupun keagamaan semisal lembaga pendidikan, masyarakat sipil, dan tentu saja intervensi negara. Demikian pula, internalisasi nilai (etika dan agama) perlu ditingkatkan dan dilakukan secara kolektif terintegratif sehingga melahirkan format upaya yang jelas,” tandasnya. (HS-WSN-PI).

Facebook
Twitter
WhatsApp

Beasiswa BPI 2023 & LPDP-Kemenag RI masih dibuka!!!