Militansi Organisasi Sayap Partai Politik

Oleh: Yeyen Subandi, Mahasiswa Program Doktor Politik Islam-Ilmu Politik UMY
Partai politik (parpol) khususnya di Indonesia secara umum terdiri dari gabungan berbagai organisasi sehingga dapat berdiri. Parpol memiliki organisasi sayap, atau laskar, dengan kata lain yaitu organisasi masyarakat (ormas) partai.
Sebagai contoh partai Golkar, pada masa awal berdirinya terdiri dari beberapa organisasi seperti Sentra Organisasi Karyawan Seluruh Indonesia (SOKSI), Gerakan Karyawan Republik Indonesia (GAKARI), Badan Pembina Potensi Karya(BPPK), Koperasi Simpan Gotong Royong (KASGORO), dan Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR) (Lubis, L. P, 2016).
Pada mulanya golkar dikenal dengan sebutan Sekretariat Bersama Golkar (Sekber Golkar). Golkar pada masa orde baru, mempunyai sayap pemuda antara lain: Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI), Pemuda Pancasila (PP), dan Ikatan Pemuda Karya (IPK).
Selain golkar parpol lainnya pun memiliki organisasi sayap atau ormas yang militan, seperti Partai Politik Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Politik Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) di berbagai daerah memiliki ormas. Dan disini akan melihat ormas yang ada di Jogjakarta.
Jogja lebih dikenal sebagai kota budaya dan kota pendidikan, tetapi tercoreng dengan ulah para ormas yang membuat rusuh disaat musim kampanye dalam pesta demokrasi. Premanisme mewarnai diantara dua kubu yang terlibat dalam adu massa yang militan, yaitu massa dari PDIP dan PPP selalu bentrok, dan sudah menjadi insiden musiman dalam melakukan kekerasan.
Ormas yang militan bukan hanya dalam mendukung politik kenegaran untuk pencapaian suara pemenangan kader dari parpol yang diusung dalam pemilihan Anggota Dewan, Pemilihan Kepala Daerah, dan Pemilihan Presiden. Pada dasarnya ada hal yang tidak terlihat, yaitu nilai positif dari ormas, mereka bergerak di sosial kemasyarakatan dalam aksi untuk kemanusiaan, sebagai contoh bakti sosial, donor darah, dan lain sebagainya.
Dalam parpol PPP ada beberapa nama ormas yang militan, diantaranya yaitu: Gerakan Pemuda Ka’bah (GPK), Hamka Darwis, Laskar Hizbullah, Angkatan Muda Ka’bah (AMK), Himpunan Muda Ka’bah (HMK), Barisan Muda Ka’bah (BMK), selain itu ada banyak nama juga dari parpol PDIP, salah satunya yang militan yaitu ormas Tentara Langit.
Pasca runtuhnya kekuasaan orde baru (orba) munculnya premanisme dan premanisme politik dalam parpol, karena ada beberapa anggota dari preman menyalonkan sebagai anggota legislatif, mereka hanya mempunyai basis massa yang kuat, tanpa meremehkan kemampuannya dalam hal politik.
Elite politik praktis adalah struktur dan merupakan bagian dari perbuatan preman, mereka berupaya menekan masyarakat umum dengan ancaman dan sogokan.
Memahami hubungan patronase, bisa diartikan sebagai hubungan dua arah antara patron dan klien, bisa dikatakan patron adalah individu ataupun kelompok yang memiliki sumber daya di atas klien, sedangkan sumber daya adalah dimana aktor memiliki kontrol serta memiliki kepentingan tertentu, sumber daya juga sebagai sesuatu yang dapat dikendalikan oleh aktor (Ritzer, 2012).
Dalam pola hubungan patronase, patron sebenarnya lebih diuntungkan daripada klien, karena klien dalam posisi lemah sehingga tergantung pada patron Scott (di Kausar, 2009).
Patronase merupakan konsep kekuasaan yang lahir dari hubungan ketidak seimbangan antara patron dan klien, fenomena ini terjadi karena kepentingan dan manipulasi oleh tujuannya masing-masing walaupun keduanya (patron dan klien) berada dalam kedudukan yang tidak seimbang.
Melihat hubungan patronase antara parpol dan ormas, sudah jelas kedudukan elite parpol lebih tinggi (sebagai patron), bila dibandingkan dengan anggota ormas (sebagai klien). Begitu juga dengan perbedaan sumber daya (ekonomi dan sosial) yang dimiliki diantara keduanya.
Apa yang terjadi antara ormas dan parpol, bisa masuk dalam kategori patronase politik dan ekonomi. Elite parpol (patron) memanfaatkan sumber daya yang lemah dari ormas (klien) untuk mendulang suara pada pemilihan legislatif, kepala daerah, dan juga presiden.
Patronase dua arah yang terjadi yaitu dengan mengandalkan uang dan ekonomi, yang didistribusikan untuk mendapat dukungan politik (Edward Aspinall, 2013). Itulah yang terjadi ketika elite politik ingin menang dalam pesta demokrasi, salah satu jalan mengandalkan massa dari ormas sebagai kliennya.
Apa yang terjadi antara elite parpol PDIP dan PPP sebagai patron dengan massa partai sebagai klien, mereka mempunyai pilihan rasionalnya sendiri, dimana mereka saling menguntungkan. Bagi elite parpol keuntungannya dukungan massa untuk mendulang suara, sementara massa parpol adalah eksistensi sosial sebagai ormas, selain keuntungan ekonomi yang didapat oleh para ketua atau pentolan pemimpin ormas.
Perihal premanisme dan patronase mencoreng dan melukai demokrasi negara kita, karena muncul “politik uang” yang dilakukan oleh elite parpol melalui broker klientelisme.
Akankah proses demokrasi Indonesia bisa lepas dari premanisme politik dan patronase? Atau justru para preman semakin ingin masuk dan bergabung dengan parpol? Karena keduanya sudah membudaya baik ditingkat teritorial ataupun nasional.
Lihat Juga:

https://www.qureta.com/next/profile/2179407982073208

Facebook
Twitter
WhatsApp

Beasiswa BPI 2023 & LPDP-Kemenag RI masih dibuka!!!