Pelarangan Diskusi Publik "Akar Persoalan di Papua" dalam Kampus

Foto Papua Lama | Firmasyah as | Flickr
Oleh: Yeyen Subandi, Mahasiswa Program Doktor Politik Islam-Ilmu Politik UMY
Sumber:

https://www.qureta.com/next/post/pelarangan-diskusi-publik-akar-persoalan-di-papua-dalam-kampus


“Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, serta memperhalus perasaan.” – Tan Malaka
Kutipan tersebut layak dan tepat menjadi acuan bagi mahasiswa generasi milenial untuk lebih semangat dalam mengecam pendidikan dan bukan untuk membanggakan dirinya sebagai seorang sarjana.
Merunduklah selayaknya padi yang makin menguning, tapi bukan merunduk pada kebijakan yang tidak berpihak. Mahasiswa generasi milenial adalah agen perubahan, perubahan bagi dirinya sendiri, keluarga, sosial-masyarakat, bangsa dan negara.
Tatkala kebebasan mimbar akademik, kebebasan akademik, dan otonomi keilmuan itu dilarang, apa gunanya keputusan rektor dibuat? Apa gunanya ada organisasi intra-kampus untuk menyalurkan aspirasi? Apa gunanya belajar organisasi?
Sangat memalukan dan sangat disayangkan ketika terjadi pelarangan diskusi publik dalam lingkungan akademik di salah satu kampus swasta yang berada di Yogyakarta dengan tema “Akar Persoalan di Papua” dengan alasan yang kurang begitu jelas.
Apakah ini menandakan kebebasan dan ruang demokrasi dalam kampus dibungkam? “Apa gunanya banyak baca buku, kalau mulut kau bungkam melulu.” – Widji Thukul
Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) sudah jelas mempersilakan bagi mahasiswa dan civitas akademika untuk melakukan kajian di dalam kampus, walaupun perihal Marxisme dan LGBT (Lesbian, Gay, Transgender, dan Biseksual) dengan tujuan untuk keperluan akademis.
“Kalau itu di dalam ranah akademik, di kelas dilakukan secara terbuka, ini (kajian Marxisme) silakan. Umpamanya mengkaji tentang aliran Marxisme itu silakan. Tapi jangan sampai tidak terbuka. Dosen sebagai pembina mahasiswa harus ada di dalamnya. Jangan melakukan gerakan sendiri tanpa ada pendampingan. Ini yang penting,” ujar Nasir saat di Kantor Kemenristekdikti, Jakarta Selatan (26/7/2019).
Kenapa diskusi publik isu Papua dengan tujuan akademik dilarang?
Mindset terhadap pemaknaan kampus sudah seharusnya diubah, dan bisa membedakan antara “kampus” dengan “perusahaan”. Walaupun dunia pendidikan saat ini ada upaya pen

https://s3pi.umy.ac.id/wp-content/uploads/2022/05/a-male-worker-puts-laminate-flooring-on-the-floor-9H6X32G.jpgtan

dengan “dunia usaha” sebagai contoh lembaga pendidikan kejuruan (vokasi) yang makin banyak berkembang. Berbeda cara berpikir, maka berbeda pula semangat berpikirnya.
Kampus itu konservatif. Ketika ide atau gagasan-gagasan alternatif mulai muncul dari mahasiswa, kampus sudah seharusnya menerima dengan lapang dada tanpa harus melarang, walaupun itu hanya diskusi publik, larang melarang Tuhan sekali pun melarang ada hujjah-Nya (firman-Nya).
Bagi mahasiswa yang mempunyai pengetahuan buku selama mengecam pendidikan, pergilah kalian ke kenyataan hidupmu dengan tujuan untuk lebih maju dan tidak mati mengeloni buku.
Wahai mahasiswa, kalian ingin menjadi seorang teoritis atau aktivis? Ketika pergerakan ideologi dan gerakan mahasiswa sudah mulai hilang, seorang teoritis mungkin akan lebih eksis dibandingkan dengan seorang aktivis di era milenial ini. Tentukan ke arah mana kalian akan berpijak? Atau menjadi keduanya?
Mahasiswa generasi milenial adalah mahasiswa yang akan melakukan perubahan untuk bangsa dan negara ke depannya.
Ketika pergerakan anak-anak muda Indonesia setelah pasca generasi 1945 (generasi Prapatan dan Menteng 31), kemudian generasi angkatan 1966, 1974 dengan Malari-nya (Malapetaka Limabelas Januari), dan generasi 1998 dengan reformasi-nya.
Akankah mahasiswa generasi milenial akan membuat sejarahnya sendiri? Akankah mahasiswa generasi milenial akan membuat perubahan?

Kampus itu lahan untuk menanam benih-benih bagi anak muda generasi milenial dalam meraih gelar seorang sarjana. Kampus menjadi panggung bagi mereka yang mempunyai pikiran yang berbeda, dan keberadaan kampus untuk memacu mahasiswa generasi milenial berprestasi dan juga berani.
Pada era sebelum generasi mahasiswa milenial saat ini, kampus adalah rumah pergerakan yang di dalamnya membicarakan apa yang dilarang, dan juga menghasut pikiran-pikiran untuk tidak mudah percaya (menjadikan mahasiswa yang skeptis) dan mendorong untuk berani menyatakan pandangan dan pendapatnya.
Kalau pelarangan diskusi dalam lingkungan kampus untuk keperluan akademik terus-menerus terjadi, di situlah kampus akan kehilangan pijakan identitas.
Kampus memerankan dua sisi: satu sisi, ia akan berperan sebagai tempat pengajaran dan pendidikan dengan menjual pengetahuan; satu sisi lainnya, kampus berupaya untuk menanamkan sikap kritis tetapi juga melayani bagi mereka yang mempunyai kekuatan bagi para pemilik modal.
Jadilah mahasiswa generasi milenial yang terdidik dan terpelajar, bukan menjadi mahasiswa generasi milenial yang patuh dan tunduk pada kebijakan yang tidak berpihak.
Jadilah mahasiswa generasi milenial yang memberontak dan membebaskan, memberontak dan membebaskan fungsi otak dan akal kalian. “Saya lebih senang melihat sekolah yang menghasilkan para penyapu jalan yang bahagia daripada sarjana yang sakit jiwa” – A.S. Neill
Apakah kampus saat ini beralih menjadi pabrik? Pabrik yang memproduksi mahasiswa generasi milenial dengan tujuan agar mahasiswa yang diproduksinya bisa menjadi mahasiswa yang bermutu tinggi, unggul, siap pakai, dan juga mampu bersaing dengan manusia lainnya.
Berhati-hatilah dengan kata, apalagi kalau sudah dirangkai menjadi kata-kata. Tanpa senjata pun, kalau sudah dimainkan, bisa meluap ke mana-mana. Ketika pikiran tidak bisa dipenjarakan di situlah bersemayam kemer

https://s3pi.umy.ac.id/wp-content/uploads/2022/05/a-male-worker-puts-laminate-flooring-on-the-floor-9H6X32G.jpgan.

Facebook
Twitter
WhatsApp

Beasiswa BPI 2023 & LPDP-Kemenag RI masih dibuka!!!