Syafii Maarif : Sila Ke Lima Masih Menggantung Di Awan

Sejak kemer

https://s3pi.umy.ac.id/wp-content/uploads/2022/05/a-male-worker-puts-laminate-flooring-on-the-floor-9H6X32G.jpgan

Republik Indonesia hingga kini, pemerintah masih menelantarkan sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kondisi Indonesia saat ini khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta, dalam penerapan sila ke lima tersebut masih jauh dari harapan. Di samping itu, sila ke lima dalam yang juga termaktub dalam pasal 33 UUD 1945 ini, juga belum diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat. Anggapan tersebut seperti yang dipaparkan oleh mantan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Buya Syafii Maarif saat memberikan keynote speech pada seminar nasional cendekiawan lintas budaya dan agama yang mengusung tema “Meneguhkan keistimewaan Jogja Melalui Kesadaran Keagamaan dan Kebhinnekaan Menuju Jogja sebagai city of Tolerance.”
“Yogyakarta yang memiliki beberapa keistimewaan ini, jangan sampai keistimewaannya hanya sebagai simbol. Jika dilihat tingkat kemiskinan di Yogya masih meningkat dan harus ditangani secara serius. Dalam penanganannya harus dengan men

https://s3pi.umy.ac.id/wp-content/uploads/2022/05/a-male-worker-puts-laminate-flooring-on-the-floor-9H6X32G.jpgtkan

jarak antara yang punya dan tidak punya. Permasalahan ini harus dijembatani. Dalam penerapan sila ke lima ini kalau kita lihat masih menggantung di awan. Jika dibiarkan akan mengganggu kebhinnekaan,” ujar Buya dalam seminar yang diselenggarakan oleh Ikatan Cendekiawan Muslim se Indonesia DI Yogyakarta (ICMI DIY), Sabtu (18/2) di Ruang Konvensi AMC UMY.
Buya Syafii melanjutkan bahwa dalam menjaga kebhinekaan, diperlukan sinergi antar lembaga agar NKRI tetap terjaga. “Pemerintah DIY perlu secepatnya berkoordinasi dengan perguruan tinggi dan lembaga-lembaga keagamaan, agar Jogja istimewa bukan hanya sekedar istimewa secara undang- undang, tapi juga istimewa dalam hal keadilan. Jadi jika diterapkan secara toleransi juga istimewa, secara keadilan juga istimewa,” tegasnya.
Berkaitan dengan diterapkannya keadilan yang dapat menyatukan kebhinnekaan serta dapat menopang keberlangsungan toleransi yang baik tersebut, Rektor Sanata Dharma, Johanes Eka Priyatma juga memaparkan bahwa penerapan keadilan tidak jauh dari pelaksanaan hukum positif. Dalam sesi diskusi tersebut, Johanes mengatakan pelaksanaan hukum positif akan menciptakan masyarakat yang baik dan toleran.
“Perlu kita sadari bersama bahwa relasi antara hukum dan masyarakat tidak bersifat satu arah. Yang sesungguhnya terjadi adalah bahwa nilai-nilai serta kesadaran masyarakat berpengaruh terhadap berlakunya sistem hukum positif, dan demikian pula sebaliknya. Pembangunan sistem hukum yang serta mampu menopang toleransi menjadi tanggung jawab semua pihak, khususnya dalam ranah pendidikan. Karena pendidikan dalam hal ini lebih banyak menjadi tanggung jawab dari para pemimpin masyarakat di berbagai level. Sehingga sekolah dan perguruan tinggi mempunyai peran yang sangat penting,” papar Johanes.
Selain itu, Johanes menambahkan bahwa permasalahan kesenjangan juga menjadi masalah serius dari munculnya ketidaktoleransian dalam bermasyarakat. “Ada banyak kesenjangan yang rasanya semakin hari semakin lebar dan meluas. Adanya kesenjangan ini sebagai akibat dari semakin terintegrasinya sistem informasi, ekonomi dan kebudayaan pada skala global. Untuk itu sangat sulit mencari strategi tunggal yang mampu mengatasi masalah yang demikian kompleks. Oleh karena itu, mari kita maknai bahwa keistimewaan Yogya salah satunya adalah berkembangnya sikap dan tindakan yang toleran,”ujarnya. (hv/wsn)

Facebook
Twitter
WhatsApp

Beasiswa BPI 2023 & LPDP-Kemenag RI masih dibuka!!!