Belajar Islam Harus Menyeluruh

Islam di Indonesia memiliki dua organisasi besar yaitu Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Namun fenomena di Indonesia ketika ada dua organisasi, satu sama lain menganggap bahwa mereka adalah yang terbaik. Namun bagi sebuah institusi pendidikan, haruslah disikapi dengan bijaksana apalagi oleh seorang peneliti, karena Islam harus dipelajari secara menyeluruh.
Menurut Prof. Nelly van Dorn Harder dari Wake Forest University Amerika Serikat, yang mengaku sudah beberapa kali datang ke Indonesia untuk meneliti tentang Islam. Dia mengungkapkan bahwa seorang peneliti atau orang berpendidikan harus memiliki pandangan luas bukan terbatasi oleh salah satu ilmu saja. Hal itu ia sampaikan dalam 1st International Conference of Graduate Program (ICGP) “Social Science Religion and Humanities” di Ruang Amphiteathre Lantai 4 Gedung Kasman Singodimedjo Kampus Terpadu UMY, Jumat (5/7).
“Ketika Anda belajar di lingkungan Muhammadiyah, jangan ragu untuk mempelajari apa yang ada di Nahdlatul Ulama. Apalagi masih satu agama, karena bagi seorang researcher haruslah memiliki kacamata yang gunanya untuk memiliki pandangan luas bukan untuk membedakan tapi menangkap pelajaran yang baik dari kedua organisasi tersebut,” ungkap van Dorn Harder.
Pembahasan tentang agama terutama Islam semakin hangat ketika Assoc Prof. Bilveer Singh, Ph.D. yakni dosen National University of Singapura memaparkan pandangannya tentang Religion and Radicalism. Dia menyebut radikalisme terjadi karena ada sekelompok orang yang haus akan kekuasaan.
”Untuk apapun alasannya radikalisme, ekstrimisme tidak diperbolehkan dimanapun berada. Sejauh ini, radikalisme selalu identik ditujukan kepada agama tertentu, meski sebenarnya tidak. Saya sudah melakukan penelitian dengan berinteraksi langsung dengan beberapa narapidana terorisme untuk mengumpulkan data, bagi saya Pancasila merupakan ideologi yang sangat kuat dan pas di Indonesia. Itulah yang harus terus dipelajari agar nilai radikalisme atau semacamnya bisa hilang,” paparnya.
Bilveer Singh menambahkan selama ini jika ada tindakan penyerangan baik itu dengan senjata atau membunuh seseorang oleh sekelompok orang, jika dia tidak menggunakan atribut agama akan dicap di media sebagai orang gila. “Faktanya selama ini ketika seorang melakukan penyerangan tidak mengenakan atribut agama apapun akan disebut pemberontak biasa atau orang gila, namun berbeda ketika orang itu menggunakan atribut salah satu agama pasti akan langsung dicap terorisme.” imbuh Bilveer.
Kemudian Bilveer memberikan sebuah analogi menarik pada penutupan presentasinya. “Contohnya seperti ini, ketika Anda memiliki sistem imun atau antibody yang kuat, tentu saja penyakit akan sukar datang ke tubuh kita. Jadi, bayangkan radikalisme sebuah penyakit, obat atau antibody untuk menyerangnya adalah agama dan ideologi yang kuat seperti di Indonesia (Pancasila),” tutupnya. (Hbb)

Facebook
Twitter
WhatsApp

Beasiswa BPI 2023 & LPDP-Kemenag RI masih dibuka!!!