Narkotika Itu Politik

Dilansir dari Nalar Politik – Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Badan Kebijakan Obat menghapus ganja dari golongan narkotika, yang pada sebelumnya ganja masuk dalam kategori yang sama dengan heroin. Hasil voting suara negara anggota Komisi Narkotika PBB 27 setuju, 25 tidak setuju, dan 1 abstain. Para pendukung terkait ganja tersebut dari Amerika Serikat (AS) dan Eropa.

Kalau melihat historisnya, justru AS mempunyai pengalaman dalam pelarangan penggunaan narkotika, yang terjadi muncul karena adanya sentimen rasialisme terhadap golongan Afrika-Amerika, orang China, dan juga dari kalangan orang-orang Latin.

Pada tahun 1900-an AS melarang narkotika yang biasa dikonsumsi oleh orang-orang Afrika-Amerika. Tahun 1909 Presiden Theodore Rosevelt mengadakan Konferensi Opium Internasional yang melahirkan Konvensi Opium Internasional, di mana kebijakan tersebut muncul terhadap respons terhadap tumbuhnya para imigran dari China yang dianggap sudah mengambil dan merebut pasar tenaga kerja di AS, karena pada saat itu imigran dari China mempunyai kebiasaan dalam mengkonsumsi opium.

Tahun 1915 lebih dari 500 ribu orang Meksiko atau Latin datang ke perbatasan AS dengan membawa ganja. Sentimen anti terhadap orang-orang Latin kemudian membuat 16 negara bagian AS melarang penjualan dan kepemilikan ganja. Walaupun dengan bergantinya presiden, motif rasial dan pelarangan narkotika masih terjadi di negara tersebut.

Harper’s Magazine pernah mempublikasikan hasil wawancara dengan ajudan Richard Nixon, yaitu John Ehrlichman, yang mengungkapkan bahwa pelarangan narkotika lahir dari kebencian Nixon terhadap dua hal: “Gerakan Kiri dan orang-orang Afrika-Amerika”. Selain itu mengasosiasikan hippie dengan ganja dan orang Afrika-Amerika dengan heroin dapat membantu pemerintahan Nixon mengkriminalisasi kelompok tersebut.

Pelarangan narkotika dan sentimen rasisme di AS juga masih terjadi sampai eranya Donald Trump. Bagaimana pada eranya Joe Biden yang sudah terpilih menjadi presiden AS, masihkah akan terjadi pelarangan terhadap narkotika khususnya ganja? Melihat AS adalah salah satu negara yang setuju terhadaph ganja bukan lagi masuk dalam golongan narkotika.

Di Australia, pelarangan opium muncul di awal abad 20 untuk meminimalisir masuknya orang-orang dari Cina ke negara tersebut. Pada tahun 1913 dan 1925 konvensi diperluas dengan melakukan pelarangan terhadap zat lain, seperti morfin, heroin, kokain, dan ganja. Pelarangan ini muncul sebelum zat tersebut menimbulkan gejala buruk yang masif di Australia. Tahun-tahun berikutnya, kebijakan pelarangan narkotika di Australia diarahkan untuk menjaga relasi internasional khususnya dengan AS.

Secara internasional regulasi narkotika diatur dan diperbincangkan oleh negara-negara di dunia melalui sidang Komisi Narkotika dan Obat-obatan. Negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, badan internasional terkait, dan Lembaga Swadaya Masyarakat hadir melakukan deliberasi untuk menentukan regulasi narkotika, dan setiap pihak atau badan yang melakukan pemungutan suara membawa kepentingannya masing-masing.

Proses regulasi narkotika di tingkat negara, regional, ataupun internasional berjalan sangat politis. Kebijakan narkotika yang politis ini kemudian dijalankan oleh pemegang kuasa yang mayoritas isinya adalah laki-laki. Hal ini berdampak pada bagaimana melihat dan mengatasi permasalahannya terhadap kalangan perempuan yang terlibat. Sudah seharusnya ada pen

https://s3pi.umy.ac.id/wp-content/uploads/2022/05/a-male-worker-puts-laminate-flooring-on-the-floor-9H6X32G.jpgtan

hukum yang berbasis gender bilamana perempuan terlibat dalam penyalahgunaan zat tersebut.

Di Indonesia beberapa bulan sebelum disahkannya UUCK, tepatnya di awal bulan tahun 2020 salah satu Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) Rafli Kande dari Dapil Aceh mengusulkan ganja sebagai komoditas ekspor dalam bidang farmasi atau medis.

Selain itu juga Menteri Pertanian mengeluarkan Keputusan Menteri Pertanian RI (Kepmentan) Nomor 104/KPTS/HK.140/M/2/2020 tentang Komoditas Binaan Kepmentan perihal ganja yang masuk dalam tanaman obat walaupun kemudian dicabut, hal yang politis bukan. Pro dan kontra masih mewarnai dan terjadi dari kalangan politisi dan masyarakat mengenai narkotika yaitu ganja sebagai obat.

Di Indonesia ganja masih termasuk dalam narkotika golongan 1, walaupun PBB sudah mensahkan ganja ditarik dari golongan narkotika. Sampai saat ini di Indonesia masih terjadi perdebatan dalam mengupayakan ganja sebagai medis dan komoditas dalam bidang farmasi. Di beberapa negara ganja sudah diatur dan diakui sebagai pengobatan dalam medis seperti: Korea Selatan, Thailand, Kanada, Sri Lanka, dan negara lainnya yang sudah menjadikan ganja sebagai pengobatan.

Di dalam Undang Undang Cipta Kerja negara akan mengatur ekspor dan impor pskiotropika dalam bentuk obat untuk kebutuhan farmasi, dan yang melakukan adalah pedagang besar farmasi yang memenuhi perizinan berusaha dari pemerintah pusat.

Apakah kedepannya negara akan setuju terhadap narkotika ganja dijadikan sebagai komoditas ekspor untuk obat dalam bidang farmasi? Kalaupun ya setuju, sepenuhnya dipegang atas kuasa negara dan wewenang pemerintah. Selain itu juga bisa membuka keran perusahaan farmasi internasional masuk ke Indonesia dalam menanamkan modal untuk memanfaatkan ganja sebagai medis.

Penulis:  Yeyen Subandi , Mahasiswa Program Doktoral Politik Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta | Pegiat Jaringan Aksi Nasional Pengurangan Dampak Buruk Narkoba di Indonesia (Jangkar Yogyakarta)

Sumber:

Facebook
Twitter
WhatsApp

Beasiswa BPI 2023 & LPDP-Kemenag RI masih dibuka!!!