Partisipasi Guru Agama terhadap Sistem Hukum Nasional

Program Studi Doktor Politik Islam-Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Partisipasi Guru Agama terhadap Sistem Hukum Nasional”. Kegiatan ini dilaksanakan pada Sabtu, (10/4) via Zoom Meeting. FGD dimoderatori oleh Dr. Zuly Qodir, M.Ag dengan menghadirkan narasumber antara lain, Prof. Dr. Sunyoto Usman, M.A, Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan, S.U, Prof. Dr. Irwan Abdullah, Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, M.Si, Prof. Dr. Kamsi, M.A, Dr. Mochamad Shodik, S.Sos., M.Si, dan Edi Safitri, S.Ag., M.Si.

Prof. Dr. Ikhsan Tanggok  menyampaikan bahwa ada penelitian dari PPIM UIN Jakarta pada tahun 2019 tentang potret keberagamaan guru-guru di Indonesia, khususnya guru agama di sekolah-sekolah. Menariknya dari responden itu 2237 guru muslim, mulai dari TK/RA ,SD/MI,SMP/MTS, SMA/SMK/MA disebar disebanyak 34 provinsi di Indonesia. Walaupun ini sudah cukup lama tapi juga bisa kita baca kembali sikap guru terhadap apa namanya baik secara sikap toleran maupun sikap intoleran, maupun sikap terhadap agama-agama lain. Misalnya di sini opini guru terhadap pemeluk agama lain itu  sikapnya intoleran itu mencapai angka 63,7% cukup tinggi sekali.  Ini yang menarik juga dari 2237 guru itu yang yang disurvei. Kemudian guru memiliki sikap intoleran terhadap agama, sedangkan yang 36,92% guru toleran terhadap agama lain dan ini kecil sekali ini cuma sekitar 35% saja. Kemudian ada lagi hasil sebesar 56,90 guru memiliki opini intoleran pada agama lain dan opini toleran terhadap agama lain itu toleran itu 41%.

Disisi lain, Prof. Dr. Irwan Abdullah melihat bahwa fondasi besar yang perlu kita perhatikan ialah fondasi institusional. Kita perlu merevitalisasikan atau memfungsikan institusi-institusi strategis dalam masyarakat, seperti keluarga. Dalam 10 tahun terakhir ini keluarga merupakan institusi yang terabaikan, hari ini misalnya di era post truth, hantaman dan ancaman yang paling besar itu dialami oleh keluarga, bukan hanya terputusnya antar generasi, tapi suami istri antar anggota masyarakat itu terancam dan tidak ada yang bela. Maksudnya tidak ada yang bela karena penelitian-penelitan tentang itu sangat miskin dan kita tidak punya kecerdasan untuk membantu memecahkan persoalan hubungan antar generasi dan menjembatani perbedaan-perbedaan, dan kita tidak punya keterampilan itu.

Facebook
Twitter
WhatsApp

Beasiswa BPI 2023 & LPDP-Kemenag RI masih dibuka!!!