Perbincangan tentang Islam Politik di Indonesia

Muhammad Alkaf, Mahasiswa Program Doktor Politik Islam-Ilmu Politik Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Guncangan terbesar kelompok Islam politik di Indonesia diawali dari keputusan politik Sukarno yang memaksa agar Masyumi membubarkan diri sebagai sebuah partai politik, setelah sebelumnya, partai Islam terbesar dalam sejarah politik Indonesia melakukan oposisi yang terhadap rezim Sukarno yang semakin

https://s3pi.umy.ac.id/wp-content/uploads/2022/05/a-male-worker-puts-laminate-flooring-on-the-floor-9H6X32G.jpgt

dengan PKI.
Akibat mendapat perlakuan demikian, maka bagi pemimpin Masyumi, keinginan untuk melakukan rehabilitasi partainya, tidak pernah pupus. Hal itu pula-lah yang diharapkan secara penuh kepada Suharto, setelah dia duduk sebagai presiden.
Awalnya, pemimpin Masyumi melihat sinar terang di rezim Suharto. Tapi apa dinyana, bahkan dalam perkara Masyumi, Suharto setali tiga wang dengan Sukarno; bahwa Masyumi dianggap berbahaya bagi mereka.
Pun demikian, pemimpin Masyumi tetap bersikeras. Sebab bagi mereka, partai Islam adalah jawaban untuk membangun Islam. “dalam penghidupan saya sendiri, Islam bagi saya adalah pedoman hidup, sedang Partai Islam adalah tempat dimana saya berjuang dan beramal,”tegas Mohd. Roem, salah satu pemimpin Masyumi, dalam korespodensinya dengan Nurcholish Madjid.
Namun situasi politik sudah berubah sama sekali. Dan gagasan untuk menghidupkan  kembali Masyumi semakin tidak mendapatkan tempatnya dalam agenda politik Orde Baru. Lalu sikap pemimpin Masyumi, yang tetap menghendaki partainya direhabilitasi itu, pula mendapatkan reaksi dari generasi yang lebih muda.
Nurcholish Madjid, atau Cak Nur, salah satu yang memberikan kritikan itu. Mengutip ungkapan Cak Nur, melalui Fachry Ali, untuk pimpinan Masyumi yang disebut sebagai “…gagal untuk berfikir melalui logika politik.”
Dalam konteks keluarnya ungkapan tersebut tentulah kita tahu sebagai respon intelektuil generasi Cak Nur atas tersumbatnya aspirasi Islam Politik di awal Orde Baru. Namun Cak Nur melihat bahwa pimpinan Masyumi memaksakan keinginannnya yang hendak menghidupkan kembali partainya itu sebagai sesuatu hal yang tidak sejalan dengan “logika poltik” saat itu.
Generasi Cak Nur, ini frasa penting  yang harus diulangi untuk menarik garis demarkasi antara generasi M. Natsir dan sesudahnya dalam konteks hubungan Islam dan politik, tidak melihat relevansinya lagi.
Islam dan partai Islam yang dikonstruk sebelumnya sebagai satu entitas yang satu, kemudian dianggap tidak lagi demikian. Maka lahir lah sebuah jargon yang sangat terkenal ‘Islam Yes, Partai Islam No?’ — Cak Nur memakai tanda tanya, suatu hal yang banyak diluputkan oleh orang.
Dalam maksud ini,  yang  hendak dikatakan bahwa, Orde Baru selama rezim itu berkuasa telah melakukan depolitisasi ideologi. Jelas dan tandas bahwa ideologi dimatikan sama sekali! Termasuk ideologi Islam dalam parpol yang dianggap dapat menghambat agenda pembangunan.
Kondisi seperti di atas, pengekangan politik yang dilakukan oleh rezim, menimbulkan duka dan amarah yang mendalam. Sampai Natsir, ketua Masyumi yang dikenal santun, mengeluarkan kalimat yang dikenang dalam sejarah “ Mereka memperlakukan kami seperti kucing kurap”
Euforia kebangkitan Islam politik sempat mencuat di awal jatuhnya rezim Orba, namun kemudian hal tersebut menguap begitu saja. Diawali kegagalan mewujudkan wacana membentuk partai Islam yang tunggal, hal itu terus berlanjut dengan rontoknya satu per satu partai Islam di setiap Pemilu sejak 1999.
Lalu, apa yang salah dengan Islam politik? Mengapa sedemikian lamanya eksprimen politik dilakukan, namun tetap saja tidak saja mampu menjadi pemenang dalam hajatan politik di Indonesia.
Dapat saja dijawab dengan perlakuan semasa rezim Orba yang telah menghabisi basis-basis politik dan budaya dari Islam politik, baik melalui operasi intelejen maupun dengan penggembosan secara sistematis. Hal lain juga yang tidak dapat dipungkiri adalah bergesernya pemikiran politik di Indonesia tentang ideologi, terutama di zaman Orde Baru telah memberi implikasi besar kepada kelompok Islam politik.
Pergerseran yang dimaksud adalah sebuah gagasan, apakah itu islamisme ataupun nasionalisme, tiadalah esklusif menjadi miliki sebuah kolompok politik tertentu. Misalnya saja, partai yang tidak berlandaskan Islam bisa dengan ringan membicarakan topik-topik Islam. Begitu juga sebaliknya, partai Islam pun dapat berbicara tentang topik-topik yang bersifat “sekular”.
Oleh karena itu kondisinya, maka sudah sepatutnya juga, kelompok Islam politik di Indonesia dapat keluar dari perasaan traumatik masa lalu, dan ikut meramaikan jagat politik di Indonesia dengan trend yang sedang berjalan.yang dimaksud dengan trend itu adalah ketika politik sekarang dimaknai dengan program yang jelas, serta bangunan persepsi yang dianggap berpihak.
Kelompok Islam politik tidak tepat lagi hanya bersandar kepada permainan sentimen belaka, melainkan harus masuk ke dalam pertarungan yang sesungguhnya di dunia opini dan persepsi yang, sepakat atau tidak sepakat, harus dikuasai. Kalau hal ini tidak dilakukan, alamat hanya akan meluapkan amarah di pinggir lapangan sepanjang hayat.
Baca juga :

http://www.bung-alkaf.com

Facebook
Twitter
WhatsApp

Beasiswa BPI 2023 & LPDP-Kemenag RI masih dibuka!!!